Euthanasia



Ini cerita tentang seonggok rasa dalam hatiku. Baru saja keselesaikan malam dengan Liqo bersama teman-teman ku. Entah mengapa, rasanya kepala ini akan pecah. Beribu kata ingin kumuntahkan bersama rasa sakit yang mendera kepalaku. Aku ingin berteriak, aku jenuhpada hidupku, aku jenuh pada hari-hariku, pada peranku.
Liqo berlansung sejam, tapi entah mengapa hati ini tetap hampa. Serasa tidak ada kesejukan yang kudapati di dalam proses ibadah ruhuiyah itu, selain hanya sebuah pertanyaan, berdosakah aku, sehingga Allah begitu membenciku, sehingga Dia tidak merelakan sebait ilmu itu masuk dan meresap ke dalam hatiku.
Aku tidak ingin sempurna, aku cuma ingin menjadi orang yang lebih baik. Jujur, walau aku tak terbiasa untuk salah. Yach… aku tak terbiasa untuk salah. Entahlah.. orang menanggap aku ini perfectionist, selalu melihat sesuatu itu sempurna seutuhnya. Begitu pula akan keberadaan diriku, akan rindunya aku untuk menjalankan ibadah sesempurna Rasulullah, atau pun beribadah seperti ikhwa-ikhwa yang lain.
Mengapa mereka begitu mudah untuk menjalani semuanya, dan mengapa begitu sulit aku untuk menjalankan hal itu pula. Yah… mungkin Allah Berkehendak lain.
Akupun selalu mencoba untuk menjadi anak yang sempurna di mata ibu ku, anak yang senantiasa hadir dalam setiap susah orang tua ku, anak yang senantiasa menjadi “obat” bagi tiap rasa sakit orang tua ku, anak yang senantiasa menjadi pemecah tiap masalah yang dihadapi keluargaku. Aku selalu mencoba hadir dalam keadaan sempurna, hanya untuk melihat keluargaku sempurna. Yach… seperti keluarga lain yang bagiku sempurna. Tapi apa yang kudapati, justru aku tidak menjadi sempurna. Justru di saat usahaku menjadi sempurna, tanpa cacat, tanpa salah ,tanpa rasa dengki, selalu ikhlas. Kudapati diriku lelah memangkul tanggung jawab ini. Membuatku (terkadang) muak dengan peran yang sedang kujalani. Aku muak pada diriku sendiri, juga pada keluargaku.
Justru disaat aku berusaha untuk menata semuanya dalam takaran yang menurutku ideal, yach…dengan mengikuti segala keinginan mereka, memberikan apa yang mereka minta, tanpa pamrih atau tanpa berpikir bahwa aku juga punya hidup. Aku juga punya hari-hari sendiri, aku juga punya mimpi…
Dan dimana kah mereka di saat aku butuh? Di sana!!!!! Jauh dan tanpa (mau) tau aku dimana dan bagaimana.
Aku ingin menjadi sempurna sebagai seorang imam kelak dalam keluargaku. Namun kudapati, aku lelah mengejar kesempurnaan itu. Aku tidak terlahir dalam keadaan Islam yang kaffah, aku tidak belajar dari sekolah Islam yang menuntut muridnya untuk menyetor sebaris ayat hafalannya tiap malam, aku tidak berasal dari sebuah khalakah, pun aku bukan seorang ikhwa yang tertarbiyah. Aku bukan ikhwa dengan celana yang menggantung di atas mata kaki, aku pun bukan ikhwa penghafal Hadist. Pun aku bukan mutarabbi dari seorang murabbi. Dah… aku bukan lelaki yang senantiasa membaca Al-Matsurah ditiap pagi dan petangku. Namun aku mendamba pedamping yang salehah. Dan kudapati diriku sedang mendamba, merajut mimpi tuk memiliki seseorang yang hanya pantas untuk ikhwa penghafal Al-Quran yang paham hadist dan bersalah dari sebuah khalakah. Mereka, dua insan, yang disatukan Allah kelak dalam ikatan BarokahNya.
Sungguh malam ini puncak kelelahanku, kepalaku sudah sampai pada kadar kelelahannya menampung penak hatiku. Aku pun ingin mengistrahatkannya. Aku tahu, dia pun lelah untuk berpikir mengenai mimpiku tuk sempurna. Lelah menemaniku memecahkan segala persoalan keluargaku, lelah menemaniku menafsirkan setiap kesan hidup, pun lelah saat bersamaku menhayalkan seorang pendamping yang solehah. Dan aku ingin mengistrahatkannya. setidaknya untuk malam ini saja, semoga esok, iya menjadi segar kembali, dan menemaniku menghadapi hidup tuk sekali lagi.
Akupun lelah, batinku pun lelah... bagiku saat ini yang kubutuhkan hanya tindakan yang serba cepat dari seorang dokter, euthanasia, yach aku ingin itu, sebuah proses menuju kematian yang indah dan esotis.